Berbicang iseng
selayaknya bahan obrolan di meja makan adalah awal mula cerita panjang kita, lalu
tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah rencana, petualangan penuh tantangan. Kau
tawarkan aku terima tanpa mikir apalagi analisa. Rasa khawatir, takut dan grogi
silih berganti menempati bilik hatiku, (entahlah dengan hatimu). Dan hari ke-26
itu pun tiba , November itu menyisakan hujannya, ujung tahun itu menorehkan makna,
puri itu memberi warna, dan hanya ada satu kata, indah adanya. Berenang
bersama, berharap air sungai akan lancar sepanjang November kita, membawa serta
segala sampah-sampah didalamnya.
Titik-titik persinggahan,
hari-hari pelabuhan, selalu saja menyenangkan. Dan kuduga (sepertinya sih ….) bukan
masalah venue, cuaca atau topik pembicaraan, melainkan melulu karena kita
sedang bersama. Tawa lepas, kerap ngakak tanpa norma gadis keraton. Memilih
kata sekenanya tanpa memikirkan tata bahasa, atau kasar halus pilihan katanya. Semua menu
terasa enak, pahit, manis, asam, tawar, matang, mentah atau apalah. Semua terjadi
begitu alami dan sederhana. Sungai di dasar hati kita mendidih setiap hari, penuh energi, mengalir
tanpa gangguan sampah. Sampah?
Oh kata ini menyapa
alam bawah sadarku. Kukenal dirimu diujung waktu, di saat lahan hatimu telah
terkavling-kavling, lalu mengasihimu tanpa tata karma, membangun asa tanpa
logika bahkan mengingini utuh tanpa peduli kamu milik siapa. Nah, disini aku
merasa diriku sebagai sampah, yang membuat kasih dan kebaikan tidak dapat
mengalir lancar dalam tubuh dan jiwaku. Beberapa kali kita mencoba membahas sampai
sungai keberapa kita harus berhenti – untuk berikrar lantang atau pun untuk
akhiri perjalanan - kemudian kita memilih menggantung topik - karena rugi
rasanya mengisi waktu bersama kita dengan teka-teki hidup tanpa jawab. Kita pun
menyederhanakan sungai dan sampah tadi dengan kata “jalani saja”.
Tiap tahun mata
hatiku mengingat hari ini sebagai hari keramat, dan tiap tahun pula dirimu
memandangnya biasa-biasa saja. Pada menit-menit terakhir tanggal ini kuijinkan
sebuah renungan memenuhi kepalaku, lalu mendesak otak dan hatiku untuk mengambil
langkah. Bersih-bersih! Aku pun semakin sadar, kita berenang dalam wadah
berbentuk lingkaran, tidak berujung. Zona nyaman yang semu, perenangan yang
salah, peristirahatan fiktif. Aku tidak tahu apakah aku sudah siap keluar dari
pesona lingkaran ciptaan kita, tapi aku juga
tahu aku harus melangkah untuk cari tahu jawabannya.