Wednesday, 26 November 2014

AIR SUNGAI BULAN NOVEMBER

Berbicang iseng selayaknya bahan obrolan di meja makan adalah awal mula cerita panjang kita, lalu tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah rencana, petualangan penuh tantangan. Kau tawarkan aku terima tanpa mikir apalagi analisa. Rasa khawatir, takut dan grogi silih berganti menempati bilik hatiku, (entahlah dengan hatimu). Dan hari ke-26 itu pun tiba , November itu menyisakan hujannya, ujung tahun itu menorehkan makna, puri itu memberi warna, dan hanya ada satu kata, indah adanya. Berenang bersama, berharap air sungai akan lancar sepanjang November kita, membawa serta segala sampah-sampah didalamnya.

Titik-titik persinggahan, hari-hari pelabuhan, selalu saja menyenangkan. Dan kuduga (sepertinya sih ….) bukan masalah venue, cuaca atau topik pembicaraan, melainkan melulu karena kita sedang bersama. Tawa lepas, kerap ngakak tanpa norma gadis keraton. Memilih kata sekenanya tanpa memikirkan tata bahasa, atau kasar halus pilihan katanya. Semua menu terasa enak, pahit, manis, asam, tawar, matang, mentah atau apalah. Semua terjadi begitu alami dan sederhana. Sungai di dasar hati kita mendidih setiap hari, penuh energi, mengalir tanpa gangguan sampah. Sampah?

Oh kata ini menyapa alam bawah sadarku. Kukenal dirimu diujung waktu, di saat lahan hatimu telah terkavling-kavling, lalu mengasihimu tanpa tata karma, membangun asa tanpa logika bahkan mengingini utuh tanpa peduli kamu milik siapa. Nah, disini aku merasa diriku sebagai sampah, yang membuat kasih dan kebaikan tidak dapat mengalir lancar dalam tubuh dan jiwaku. Beberapa kali kita mencoba membahas sampai sungai keberapa kita harus berhenti – untuk berikrar lantang atau pun untuk akhiri perjalanan - kemudian kita memilih menggantung topik - karena rugi rasanya mengisi waktu bersama kita dengan teka-teki hidup tanpa jawab. Kita pun menyederhanakan sungai dan sampah tadi dengan kata “jalani saja”.

Tiap tahun mata hatiku mengingat hari ini sebagai hari keramat, dan tiap tahun pula dirimu memandangnya biasa-biasa saja. Pada menit-menit terakhir tanggal ini kuijinkan sebuah renungan memenuhi kepalaku, lalu mendesak otak dan hatiku untuk mengambil langkah. Bersih-bersih! Aku pun semakin sadar, kita berenang dalam wadah berbentuk lingkaran, tidak berujung. Zona nyaman yang semu, perenangan yang salah, peristirahatan fiktif. Aku tidak tahu apakah aku sudah siap keluar dari pesona  lingkaran ciptaan kita, tapi aku juga tahu aku harus melangkah untuk cari tahu jawabannya.

        /hms/sebuah catatan diujung senja, 26 November 2014.



Halmahera, 9 April 2008