Lihat muka polosnya, tidak ada guratan curiga
Tatap bola matanya, tiada cahaya dusta
Makin dalam terselidiki, tampilannya semakin menggoda
Kaos polo asli, putih bertepi biru
Jam tangan bermerk melingkar gagah di pergelangan
Sepatu berkelas pula, cokelat muda
Sebatang rokok menyempurnakan kelelakiannya
Dia mulai bergaya, berbicara santun di mula bicara
Lalu perlahan hangat, bahkan jorok-jorok elit punya
Mata damai dan teduh beralih kerling berahi dan ajakan nakal
Kepaknya mengembang, senyumnya merekah
Bahkan terlalu merekah untuk ukuran seorang lelaki matang
Lenggak lenggoknya pasti, seakan tahu bumi menopang dosa-dosa
Topik bicaranya terkini, ulet dan ligat seakan tahu persis nada-nada sulit Beethoven
Gaya bahasanya lebih elegan dari ahli politik musiman
Dia tampil seperti teruna kota, tanpa beban dan kekang
Segala tampak lancar…
Segala tampak mudah…
Segala tampak harapan yang tidak sia-sia…
Jiwa, ilmu, nafsu, pengalaman, terkemas dalam satu formula
Dia teruna muda dari kota!
Dengarlah….
Hati rentan itu berdegup halus karena getar-getar cinta menggerogoti dengan mesra,
begitu mudah terpesona sinarnya kota
Buru-buru berharap bahkan bermimpi
Sang Teruna berkenan turun sejenak untuk mandi di sungainya
Dan benar
Entah takdir, entah usaha, entah keajaiban, entahlah…
Tapi dia berhasil terpulas di pelukan Teruna Kota
Mandi bersama dengan air yang kadang beriak kadang pula bergelombang…
Ah, atau mungkin yang terjadi adalah
Teruna berhasil memperdaya Hati Rentan untuk sekadar latih otot di sekitar dermaga tanpa nama pelabuhan?
Lihatlah…
Hati rentan itu sekarang selalu bersih-bersih, solek-solek bahkan bertingkah seperti punya wewenang atas dermaga, sekan-akan punya nama
Tatap guratan nikmat di sudut bibirnya, kepuasan di teduh matanya, kedamaian senyumnya,kelincahan gerakan kakinya yang membelah lembut air sungai dan berenang ikut arus sampai jauh dan jauh….
Hari berlipat minggu, berganda bulan dan tahun…
Semakin dia nikmati, semakin dia selami indahnya cinta merah jambu dari Sang Teruna
Dia terus memercikkan air, walau dia tahu dermaga itu tetap tanpa nama
Dia sadar, bagian yang dia selami bukan hulu bukan pula hilir
Dia tahu, hantaran zat kehidupan dia terima dari mana
Dan mampu berkesimpulan, dia hanya persinggahan iseng semata
Dan bahwa Teruna Kota itu akan segera beranjak, berenang lebih jauh lagi, sampai lelah dan menemukan dermaga dengan atau tanpa nama…
Lalu mengalir dan mengalir lagi tanpa akhir dan tanpa perhentian
Hei saksikanlah,
Hati Rentan itu muncul ke permukaan...
Mencoba merayu Sang Teruna yang sudah siap melanjutkan perjalanan
Dia berkata,”Duhai kekasih, berikan aku kepastian, batas panjang dan lebar dermagaku. Dan beri aku tanda dan nama bahwa aku adalah hulu dan ulu hatimu….”
Sang Teruna Kota memandang bingung atau tepatnya pura-pura bingung
Dan dengan guratan muka penuh cinta berkata,”Duhai Hati Rentan, pintamu sangat berlebihan. Apalah arti sebuah nama? Kuberi kau kesenangang, kenapa harus dilegalkan?”
Hati Rentan menatap pilu,
Dipandangnya pujaan seakan tidak percaya
Lalu berucap lembut,”Duhai kekasihku, takutkah engkau mengakuiku? Bolehkah aku dengar jujurmu?”
Bibir Sang Teruna bergetar, matanya berair entah sandiwara entah benar.
Dipeluknya Hati Rentan dan berujar,”Maafkan aku cinta. Aku terlalu takut untuk memberimu tanda atau nama. Aku Teruna kota yang pengecut. Kalau cinta, aku cinta. Kalau sayang aku sayang. Tapi komitmen, bagaimana bisa aku berikan?”.
Hati Rentan memejamkan matanya, memeluk lebih erat dekapan Sang Teruna
Dia hirup aroma tubuhnya, untuk dia formulakan dalam ingatannya, dan dia berkata,“Kasihku, kukira cintamu adalah magis, bukan logis. Pergilah, dan berenanglah terus. Kiranya badai akan mencabik-cabik jiwamu tapi tidak tubuhmu. Kiranya kemalangan akan memenjarakan hatimu tapi tidak ragamu. Kiranya bayangan kematian akan menghias tiap malammu tapi tidak siangmu. Kiranya setiap kau berlabuh, kau akan mengingat dermaga tanpa nama. Seumur hidupmu, akan selalu begitu….”
Dan perlahan dekapan itu merenggang dan semakin terpisahkan
Oh gunung, oh lautan
Sulit kupahami, Hati Rentan dengan kutukannya
Sulit kucerna, Sang Teruna dengan jiwa kerdilnya
Ya, kenapa dia bisa menjadi Sang Teruna…
Ya, pribadinya terjual tanpa harga, harkatnya terlacurkan, karakter pengecut!
Ohhh..warna hatinya merah muda, sepertinya perbandingan pigmen magenta dan kuning tidak sempurna
Merah muda dia dan….
Banci lah dia…
(hennysembiring_on February's mood/di tepi danau hijau berumput tinggi)