Wednesday, 6 March 2013

SEPATU TANPA NOMOR



Apakah saksi atau pelaku, sungguh perannya masih kelabu
Dagunya terangkat ragu lalu tertunduk malu
Menancapkan mata kepada sepatu hitam
Oh bukan, itu abu-abu!
Bukan irisan mata gagal menentukan warna
Tapi waktu terlalu serakah mengaburkan pigmennya

Ada niat memberitakan kebohongan dan membangun ketegaran
Bersandiwara bahwa hidup adalah indah dan mudah
Bahwa airmata tidak berarti apa-apa
Saat bersanding dengan nikmat yang disajikan dunia
Bahkan surga kehilangan pesona 

Terantuk kakinya di pantai itu, punggungnya membungkuk…lalu jongkok malas
Tidak ada nafsu
Tidak ada kemauan menapak
Tidak ada harap bergerak!

Kemudian duduk membuang diri
Perlahan sekali diusapnya alas kaki
Sepatu abu-abu
Bisu...

Berkata lirih pada saksi, jauh dari sentuhan jiwa
Berbisik lemah pada pelaku, jauh dari ingin tahu
Berapa lamakah jatah hidup?

Ditariknya kaki kanan dari cengkeraman sepatu usang
Ditengoknya ke dalam, lalu meniup butir pasir yang memaksa masuk menghuni

Dihelanya nafas, tertarik berat dan enggan

Ditariknya kaki kiri untuk mendekat ke kaki kanan
Melongok sepatu, meniup lagi dan menghela nafas lebih dalam

Lalu tersenyum melemparkan mata mengikuti gerakan biduk tua di laut lepas
Entah sadar atau perlu
Atau sekadar lampiaskan duka kalbu

Silau mentari sore hentakkan lamunan, kembali memandang saksi
Sepintar apakah kulit itu menyimpan memori tentang pelaku aksi?
Sekuat apakah sol sepatu menahan kepahitan pemilik hati?
Sekeras apakah warna sepatu untuk merefleksikan kegundahan nurani?

Dibalikkannya sepatu itu
Mencari petunjuk kekuatan menampung memori
Tiada dia temukan apa-apa
Nomornya sirna, kadar garam air laut mengikisnya
Sepatu itu tanpa nomor dan butut rupanya!

 (hennysembiring: //ayat pasir dalam sepatu,  March 5th,  2013)

Kuta, Bali, 1st July, 2012


No comments:

Post a Comment