Sunday, 14 January 2018

ELANG



Ini Manali, kota kecil di kaki Himalaya
Bukan kota Srinagar, tempat favorit pasangan kekasih untuk berbulan madu
Dan dari situ, dingin dan kekar barisan es dapat dinikmati lebih sempurna

Melbrosia membuka sedikit jendela kamarnya
Melempar pandangan ke bawah, pada aktivitas pasar yang mulai terasa
Untuk harga murah, penginapan ini lumayan terjaga
Walau kopi rasanya tak jelas, setidaknya ada
Karena Chai sudah tidak menarik, air keruh berbau apek diteguk
Ya sudah, mari melenggok

Diambilnya mantel bulu, pinjaman dari seorang kawan saat bertemu di Haridwar
Walau keras menolak, se-keukeuh itu pula Si Kawan memaksa tetap berkoar
Fakta tertolok, sia-sia adu pendapat di beberapa etnis
“Manali is very cold, my friend. Please take this and carry this”
Yooo wissss…,
Ransel tak bisa ditutup lagi atas nama ‘friendship’

Dililitkannya syal hitam modal dasar perjalanannya
Hasil rajutan perempuan tercinta yang jauh di sana
Walau jelas terbaca guratan khawatir, iba dan cinta
Tapi mata tua itu memberi restu dan doa
Saat Melbrosia berkata,”Ma, aku mau ke India”

Dipasangnya sepatu boot coklat, dengan kaos kaki tebal
Memorinya lari secepat kilat kepada seseorang pada masa kekal
Perjalanan pendek tanpa bilangan tahun
Sarat diskusi, saling pandang, tawa terbahak, menangis kering hingga sesegukan tertahan
Lalu berhenti pada pengakuan, Agungnya karya ciptaan
Sepakat dalam satu rumusan, Indahnya khadirat Tuhan

Dia berdiri tegak, meraih kamera dan tas selempang kecil
Dikuncinya pintu kamar, dituruninya tangga tua dari papan
Menyapa resepsionis dan senyum kiri kanan

Dipanggilnya bajaj dengan suara serak dan renta
Tawar menawar dapat harga
Empat puluh, ah tiga puluh tujuh menit tepatnya
Lokasi yang dia tuju tampakkan rupa
Dengan bonus sebatang rokok, supir tinggalkannya

Hutan pinus berbukit, ah bukan… ada beberapa tanaman lain disitu
Kaki bergegas menapak, kadang berlari kecil lalu merunduk, mengendap-endap, tepok jidat, terseyum, kecewa dan aneka ekspresi tercurahkan
Dua jam delapan belas menit dia sibuk dengan kameranya
Tak sadar posisi diri entah di lintang berapa
“Ya Tuhanku, aku dimana”
Jam masih tunjuk angka muda, ah biar saja
Enjoy the lost bathinnya
Istirah sejenak lalu bangkit kembali seakan tidak mau rugi
Jauh-jauh dari negeri sendiri demi pelarian yang positif
Berharap atmosfir negeri jiran, ademkan panasnya luka hati
Dinginnya hantaran salju, bekukan perihnya sayatan belati
Hingga mati rasa
Sekalipun sementara

Penat membuatnya berhenti lagi
Duduk lelah di batu besar di atas bukit
Lanskap luar biasa goresan Sang Maha
Ada guratan senyum disudut bibirnya
Akui kehebatanMu yang Mulia

Suara rintih dari pohon pinus alihkan posisi rendahnya hatinya
Ingin tahu, dia mendekat bahkan berniat memanjat saat melihat
Seekor elang muda terluka diantara ranting-ranting yang menahannya
Kehadiran Melbrosia mengkhawatirkannya
Matanya kian awas laksana pasukan pilihan di tugas khusus
Lalu sekuat tenaga mencoba terbang, kepakkan dan kepakkan
Ah dia hilang keseimbangan
Dia melayang turun, gravitasi bumi menariknya kasar

Melbrosia menghampiri tanpa takut, tanpa ragu
Seakan memahami dan merasakan luka yang diemban
Dan elang dengan kekuatan terakhir mencakar lengannya
Lalu tanpa daya, pasrah digenggaman perempuan pilihan

Duh Arga sayang
Please don’t die

Dikeluarkannya isi tas selempang dan memindahkannya ke kantong-kantong mantel
Arga meringkuk dalam tas hitam bermotif buram bertulis Hamlet: Act 4 Scene 5 Page 2
Nafasnya terengah dan bergegas turuni bukit

Takutnya adalah, tuangan air putih bekalnya tidak mampu lepaskan dahaga Arga
Entah langkah memutar, entah efek ketidaktahuan beraduk ketakutan
Butuh lima jam lima menit untuk dia berpapasan makluk manusia
Ah dia sudah dekat rupanya

Dia berlari dan berlari
Bertemu lelaki ceking hitam tawarkan jasa kuda
Tanpa tawar dia bilang ya
Demi nyawa
Arga

Bergegas lewati anak tangga dua demi dua untuk segera capai kamarnya
Dikeluarkannya Arga dari tas dengan penuh kasih sayang
Agar dia tidak tersakiti, bukan takut atas tajamnya mata elang

India kaya rempah, sumber segala obat
Perawatan dan kasih sayang dia yakin mampu menyembuhkan
Dia abaikan panggilan telephone dan pesan untuk pulang
Reshedule ticket adalah keputusan

Delapan hari terlewat sudah
Arga kembali gagah

Melbrosia mengerti dan tabah
Membawanya kembali puncak bukan di lembah

Di puncak yang sama, di batu yang sama
Diangkatnya Arga dengan kedua tangannya
Dipejamnya mata menahan sakit di dada
Dihelanya nafas, longgarkan rongga yang kian sesak
Dan tangannya merenggang…..
Arga terbang…
Dan menorehkan luka baru di atas luka lama yang belum kering sempurna
Luka baru itu wajib ada
Karena dianya adalah
Tonggak Arga mengambil ancang-ancang untuk terbang

Jantungnya berdegup kencang menahan aneka rasa
Melepas pergi kekasih jiwanya
Walau berbilang muda kenangan bersama
Tanda tertinggal akan abadi sepertinya

Tiba-tiba Arga terbang rendah dan hinggap di dahan yang sama saat dia terluka
Menatap Mel tidak tajam, melainkan teduh penuh ungkapan
Ungkapan tanpa nama, rasa tanpa definisi, tindakan tanpa nilai

Mel memandang tersenyum sambil menahan nyeri
Berkata lirih walau tidak akan dimengerti

Terbanglah tinggi sesuka hati, pada arah mana angin berbisik lewat helai sayapmu
Cari dan nikmatilah sepuas seleramu
Kuning, merah, hijau, biru dan semua turunan warna yang ada
Lepaskanlah hasrat dan harapmu, tua, muda, kaya, miskin, sombong, sederhana, terpelajar, terbelakang
Miliki dan tinggalkanlah sekena waktumu
Hujan, kemarau, bersalju, gersang, rimba, desa, kota, gunung dan laut
Sesuka alam memanggilmu
Selihai pesona bidadari menggodamu
Nikmatilah

Arga kembali terbang dan Mel berharap tidak ada lagi manuver yang sama
Diusapnya bekas cakar di pergelangan tangan kirinya
Darah segar masih merembes, tepatnya mengalir, pertanda lukanya cukup dalam
Mel tersenyum rasakan sakitnya, menikmati dahsyatnya kesedihan, menyuskuri lezatnya kekalahan
Usianya tidak akan izinkan regenerasi sel berlangsung cepat dan baik
Luka itu tidak akan hilang
Akan tetap menjadi kenangan

Ditekannya dengan ujung jarinya, berusaha hentikan darahnya
Cucurannya jatuh ke Bumi
Bumi sarat makna
Namun kehilangan penafsir ungkapkan rasa


14 Jan 2018_the scars


KUMPARAN WARNA


Bongkah itu batu
Tidak terpungkuri indah nian warnanya
Tidak teracuhkan kejernihan lekuk sudut-sudut prismanya
Potongan sempurna pengrajin harta
Lihat dan tunggulah munculnya matahari
Akan kau picingkan mata oleh kilaunya yang terpantul
Akan mudah terasuk setiap hati, tertoreh pesona dan terikat rawannya rasa
Permata…

Dia tanpa warna
Ah tidak juga
Entahlah
Tergantung warna apa yang menerpa sudutnya
Maka refleksinya akan indah adanya
Aneka materi, media, hantaran manis, sayang, dan cinta
Aneka strata, usia, pekatnya dogma, objek sakit, pernah sakit atau sakit berkepangan
Melabuhkan harap memilikinya, atau setidaknya berjemur di dekat kilaunya

Permata itu teduh, kuat, berlimpah kasih sayang
Dia beri kenikmatan, dihiburkannya hati yang sedih, dibalutnya hati yang terluka,
Dilindunginya yang tertindas, dicurahi dengan cinta
Ya itu cinta
Cinta kian tumbuh, berbunga sebarkan aneka aroma dan warna
Dan semua cinta
Entah sampai level warna keberapakah, cinta akan berhenti sebarkan cinta

Hitam, warna hitam itu
Terkesan elegan, berkelas dan tahan uji
Rasa membawanya masuk dalam daftar
Berharap melengkapi
Namun doa-doanya siratkan keinginan menjadi tempat akhir

Lalu pudar
Hitam tidak akan menjadi peserta
Hitam adalah kealpaan akan pigmen
Tidak seharusnya menjadi bagian kumparan warna



14 Januari 2018_the absent of colours 






KERANG – KERANG KOSONG


Ditelusurinya bibir pantai itu
Tapak kakinya menedang malas atas buih-buih air yang pecah
Dihelanya nafas
Terasa dingin dipanasnya aura terik siang
Bibirnya kelu menahan isak, tergigit oleh sesak
Ah laut…
Dimanakah ujungmu?

Berhenti sejenak pada ranting berongga yang teronggok tanpa daya tarik
Duduk menunduk
Pipinya basah oleh sisa-sisa debit air di kantung matanya
Mengalir atas nama cinta
Atas nama putus asa yang membekukan jiwa
Ekor matanya nanar mengikuti jejak klomang
Dan berhenti pada kerang kosong

Deru ombak semakin deras seiring senja menjarah matahari
Bukan berdiri, dia malah duduk di basahnya pasir putih
Diselojorkannya kedua kaki, ditumpuk…
Lima menit kemudian ditariknya bersilang
Lalu tangan maraih tempurung kelapa muda
Dibersihkanya…

Dia berdiri, berjalan, menunduk, meniup dan jalan lagi
Kerang aneka warna terkumpul sudah

Malam…
Dia berhenti mengutip, kembali ke pondok rumbia
Dipandangnya nilon di ujung tiang dan sesuatu ada di benaknya

Satu demi satu di setiap senja diteruskan nya proyek hasta
Tiap kerang berisi kenangan, dimensi, waktu, doa dan harapan
Semua dari, oleh dan karena cinta, yang kian pudar dan hilang  

Digantungnya jalinan kerang kosong itu
Dia harap angin bertiup untuk berikan bunyi tubrukannya
Setiap bunyi adalah jeritan, lalu menjadi irama kidung kematian
Jiwanya kosong, harapannya lenyap tergerus oleh embun malam
Nyanyiannya tanpa syair, sakitnya dia nikmati dengan mata terpejam
Entah dibawanya kemana harapan

Senyap dan bersuara

Lalu senyap….
Sunyi
Hilang


14 Januari 2018_untuk penjaga pantai