Ini Manali, kota kecil di kaki Himalaya
Bukan kota Srinagar, tempat favorit pasangan kekasih untuk berbulan
madu
Dan dari situ, dingin dan kekar barisan es dapat dinikmati lebih
sempurna
Melbrosia membuka sedikit jendela kamarnya
Melempar pandangan ke bawah, pada aktivitas pasar yang mulai terasa
Untuk harga murah, penginapan ini lumayan terjaga
Walau kopi rasanya tak jelas, setidaknya ada
Karena Chai sudah tidak
menarik, air keruh berbau apek diteguk
Ya sudah, mari melenggok
Diambilnya mantel bulu, pinjaman dari seorang kawan saat bertemu di
Haridwar
Walau keras menolak, se-keukeuh
itu pula Si Kawan memaksa tetap berkoar
Fakta tertolok, sia-sia adu pendapat di beberapa etnis
“Manali is very cold, my friend. Please take this and carry this”
Yooo wissss…,
Ransel tak bisa ditutup lagi atas nama ‘friendship’
Dililitkannya syal hitam modal dasar perjalanannya
Hasil rajutan perempuan tercinta yang jauh di sana
Walau jelas terbaca guratan khawatir, iba dan cinta
Tapi mata tua itu memberi restu dan doa
Saat Melbrosia berkata,”Ma, aku mau ke India”
Dipasangnya sepatu boot
coklat, dengan kaos kaki tebal
Memorinya lari secepat kilat kepada seseorang pada masa kekal
Perjalanan pendek tanpa bilangan tahun
Sarat diskusi, saling pandang, tawa terbahak, menangis kering hingga sesegukan
tertahan
Lalu berhenti pada pengakuan, Agungnya karya ciptaan
Sepakat dalam satu rumusan, Indahnya khadirat Tuhan
Dia berdiri tegak, meraih kamera dan tas selempang kecil
Dikuncinya pintu kamar, dituruninya tangga tua dari papan
Menyapa resepsionis dan senyum kiri kanan
Dipanggilnya bajaj dengan suara serak dan renta
Tawar menawar dapat harga
Empat puluh, ah tiga puluh tujuh menit tepatnya
Lokasi yang dia tuju tampakkan rupa
Dengan bonus sebatang rokok, supir tinggalkannya
Hutan pinus berbukit, ah bukan… ada beberapa tanaman lain disitu
Kaki bergegas menapak, kadang berlari kecil lalu merunduk,
mengendap-endap, tepok jidat, terseyum, kecewa dan aneka ekspresi tercurahkan
Dua jam delapan belas menit dia sibuk dengan kameranya
Tak sadar posisi diri entah di lintang berapa
“Ya Tuhanku, aku dimana”
Jam masih tunjuk angka muda, ah biar saja
Enjoy the lost bathinnya
Istirah sejenak lalu bangkit kembali seakan tidak mau rugi
Jauh-jauh dari negeri sendiri demi pelarian yang positif
Berharap atmosfir negeri jiran, ademkan panasnya luka hati
Dinginnya hantaran salju, bekukan perihnya sayatan belati
Hingga mati rasa
Sekalipun sementara
Penat membuatnya berhenti lagi
Duduk lelah di batu besar di atas bukit
Lanskap luar biasa goresan Sang Maha
Ada guratan senyum disudut bibirnya
Akui kehebatanMu yang Mulia
Suara rintih dari pohon pinus alihkan posisi rendahnya hatinya
Ingin tahu, dia mendekat bahkan berniat memanjat saat melihat
Seekor elang muda terluka diantara ranting-ranting yang menahannya
Kehadiran Melbrosia mengkhawatirkannya
Matanya kian awas laksana pasukan pilihan di tugas khusus
Lalu sekuat tenaga mencoba terbang, kepakkan dan kepakkan
Ah dia hilang keseimbangan
Dia melayang turun, gravitasi bumi menariknya kasar
Melbrosia menghampiri tanpa takut, tanpa ragu
Seakan memahami dan merasakan luka yang diemban
Dan elang dengan kekuatan terakhir mencakar lengannya
Lalu tanpa daya, pasrah digenggaman perempuan pilihan
Duh Arga sayang
Please don’t die
Dikeluarkannya isi tas selempang dan memindahkannya ke kantong-kantong
mantel
Arga meringkuk dalam tas hitam bermotif buram bertulis Hamlet: Act 4 Scene 5 Page 2
Nafasnya terengah dan bergegas turuni bukit
Takutnya adalah, tuangan air putih bekalnya tidak mampu lepaskan dahaga
Arga
Entah langkah memutar, entah efek ketidaktahuan beraduk ketakutan
Butuh lima jam lima menit untuk dia berpapasan makluk manusia
Ah dia sudah dekat rupanya
Dia berlari dan berlari
Bertemu lelaki ceking hitam tawarkan jasa kuda
Tanpa tawar dia bilang ya
Demi nyawa
Arga
Bergegas lewati anak tangga dua demi dua untuk segera capai kamarnya
Dikeluarkannya Arga dari tas dengan penuh kasih sayang
Agar dia tidak tersakiti, bukan takut atas tajamnya mata elang
India kaya rempah, sumber segala obat
Perawatan dan kasih sayang dia yakin mampu menyembuhkan
Dia abaikan panggilan telephone dan pesan untuk pulang
Reshedule ticket adalah
keputusan
Delapan hari terlewat sudah
Arga kembali gagah
Melbrosia mengerti dan tabah
Membawanya kembali puncak bukan di lembah
Di puncak yang sama, di batu yang sama
Diangkatnya Arga dengan kedua tangannya
Dipejamnya mata menahan sakit di dada
Dihelanya nafas, longgarkan rongga yang kian sesak
Dan tangannya merenggang…..
Arga terbang…
Dan menorehkan luka baru di atas luka lama yang belum kering sempurna
Luka baru itu wajib ada
Karena dianya adalah
Tonggak Arga mengambil ancang-ancang untuk terbang
Jantungnya berdegup kencang menahan aneka rasa
Melepas pergi kekasih jiwanya
Walau berbilang muda kenangan bersama
Tanda tertinggal akan abadi sepertinya
Tiba-tiba Arga terbang rendah dan hinggap di dahan yang sama saat dia
terluka
Menatap Mel tidak tajam, melainkan teduh penuh ungkapan
Ungkapan tanpa nama, rasa tanpa definisi, tindakan tanpa nilai
Mel memandang tersenyum sambil menahan nyeri
Berkata lirih walau tidak akan dimengerti
Terbanglah tinggi sesuka hati, pada arah mana angin berbisik lewat
helai sayapmu
Cari dan nikmatilah sepuas seleramu
Kuning, merah, hijau, biru dan semua turunan warna yang ada
Lepaskanlah hasrat dan harapmu, tua, muda, kaya, miskin, sombong,
sederhana, terpelajar, terbelakang
Miliki dan tinggalkanlah sekena waktumu
Hujan, kemarau, bersalju, gersang, rimba, desa, kota, gunung dan laut
Sesuka alam memanggilmu
Selihai pesona bidadari menggodamu
Nikmatilah
Arga kembali terbang dan Mel berharap tidak ada lagi manuver yang sama
Diusapnya bekas cakar di pergelangan tangan kirinya
Darah segar masih merembes, tepatnya mengalir, pertanda lukanya cukup dalam
Mel tersenyum rasakan sakitnya, menikmati dahsyatnya kesedihan,
menyuskuri lezatnya kekalahan
Usianya tidak akan izinkan regenerasi sel berlangsung cepat dan baik
Luka itu tidak akan hilang
Akan tetap menjadi kenangan
Ditekannya dengan ujung jarinya, berusaha hentikan darahnya
Cucurannya jatuh ke Bumi
Bumi sarat makna
Namun kehilangan penafsir ungkapkan rasa
14 Jan 2018_the scars