“Ya Allah,
izinkanlah hamba bersamanya membentangkan sajadah di depanMu”.
Dia berdiri tertatih.
Bibirnya
tersenyum.
Sinis.
Ketir.
Dilipatnya tulisan
di kertas buram itu.
Matanya
mencari tempat sampah, tidak ada.
Ditariknya
nafas dalam-dalam, tahan dan lepaskan.
Lalu dimasukkannya
kertas itu ke dalam tas pinggang.
Ditatapnya
perahu nelayan merapat ke tepian.
Seorang
perempuan berlari mendapatkan.
Ada kain
panjang di bahu kiri dan ember hitam di tangan kanan.
Tergelitik
hati ikuti episode pendek anak-anak Adam.
Dipojokkannya
raganya di sudut kiri dermaga kumuh.
Mulutnya bergumam
merekam tingkah mereka yang utuh.
Entah
panjang, pendek, separuh atau seluruh.
Entah.
Dia hanya
ingin membunuh waktu jenuh.
Matanya
menyipit.
Dadanya
sesak mendapati fakta akan jiwa.
Terjerat
dalam nilai sosial, agama, hokum dan alam.
Terpenjara
dalam kaidah umum, kebiasaan umum, norma umum dan standar umum.
Teraniaya
dalam fakta cinta, sayang, iba, ikhlas dan komitmen.
Dia
tundukkan kepala, menahan nyeri di dada.
Tergerus
sudah makna murni, makna sejati, makna abadi dan makna kasih sayang.
Kaulah
duniaku, kaulah hidup-matiku, kaulah kekuatanku, kaulah api semangatku.
Kalah.
Pada
akhirnya kalah oleh standar.
Diangkatnya
dagunya dengan tertatih.
Tergigit
sakit bibirnya oleh tangis kering.
Ternyata tidak
dunia, tidak hidup-mati, tidak kuat dan tidak api.
Setidaknya
tidak cukup.
Tidak selalu
berbanding lurus, usaha terhadap hasil.
Ada orang
mati-matian mengupayakannya tapi gagal.
Ada yang
setengah hidup mengupayakannya, berhasil.
Ada yang tidak
usaha apa-apa, berhasil.
Doa?
Entah.
Mungkin.
Amin.
Namun terang
baginya kini.
Perempuan
itu telah dituntun kekasihnya berwudhu.
Bersujud kepada
Zat, di atas sajadah cinta mereka.
Diambil dan
dibukanya lipatan kertas buram
Sebentar pulpen
bergetar membuka barisan kata baru.
Partikel
bebas
Nol.
Sempurna.
Tidak butuh
apa-apa.
Dia berdiri tertatih.
Mencoba
senyum rendahkan diri, rendahkan hati, rendahkan ekpektasi.
________ 11
Mei 2020 ________
No comments:
Post a Comment